“Harga tiket pesawat sekarang memang gila ya, Bud,” keluh Anton sambil menyesap kopinya. “Dulu ke Jakarta cuma Rp 500 ribu, sekarang bisa sampai Rp 1 juta lebih.”
Budi pun mengangguk setuju. “Iya, banyak yang mengeluh. Tapi, tahukah kamu apa sebenarnya penyebabnya?”
Anton menggelengkan kepala. “Terus terang, saya kurang paham soal ini.”
“Jadi, begini,” jelas Budi. “Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya harga tiket pesawat. Pertama, biaya perawatan pesawat yang mahal. Pesawat perlu dirawat secara berkala untuk memastikan keamanannya, dan biaya ini ditanggung oleh maskapai penerbangan.”
“Kedua, biaya handling dan pengecekan penumpang sampai pesawat terbang. Ini termasuk biaya keamanan, avtur, dan sebagainya. Biaya ini juga mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir.”
“Terakhir, memang benar harga bahan bakar pesawat atau avtur juga mengalami kenaikan. Tapi, perlu diketahui bahwa harga Avtur JTA1 sebenarnya diatur oleh Pertamina dan tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap harga tiket.”
“Bahkan, avtur banyak dijual di masyarakat Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah, bahkan dijual umum untuk dijadikan minyak tanah,” tambah Anton.
“Nah, jadi inti permasalahannya bukan pada harga avtur, melainkan pada biaya-biaya lain yang ditanggung oleh maskapai penerbangan,” jelas Budi. “Pemerintah perlu mencari solusi untuk membantu meringankan beban maskapai agar harga tiket pesawat bisa lebih terjangkau.”
Perbincangan Budi dan Anton pun berlanjut, membahas berbagai solusi yang mungkin bisa diterapkan untuk mengatasi masalah ini. Di antara hiruk pikuk bandara dan kesibukan penumpang, warung kopi sederhana itu menjadi saksi bisu pertukaran ide dan pemikiran untuk masa depan penerbangan yang lebih murah dan terjangkau bagi masyarakat.