Maros – reaksipress.com – Praktik kecurangan diduga marak terjadi di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kabupaten Maros. Sejumlah pengecer bahan bakar minyak (BBM) memanfaatkan motor “thunder” dengan tangki modifikasi berkapasitas 14 liter untuk membeli BBM secara berulang. Fenomena ini memicu dugaan keterlibatan oknum yang memiliki kepentingan dalam pengaturan distribusi BBM.
Para pengecer ini diketahui memiliki kedekatan dengan operator dan pemilik SPBU. Indikasi praktik curang semakin kuat ketika operator tidak lagi menghitung uang pembayaran, melainkan langsung memasukkannya ke dalam tas, seolah-olah sudah ada kesepakatan sebelumnya. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada mekanisme terselubung yang menguntungkan pihak tertentu dengan mengorbankan masyarakat umum.
Praktik ini jelas merugikan konsumen yang kesulitan mendapatkan BBM, terutama di tengah kelangkaan yang sering terjadi. BBM bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat berhak justru lebih banyak mengalir ke pengecer yang diduga beroperasi dengan restu pihak tertentu.
Namun, kasus ini bukan sekadar pelanggaran kecil. Dugaan keterlibatan oknum di SPBU hanya puncak gunung es dalam rantai kejahatan BBM. Banyak pihak meyakini bahwa mafia SPBU hanyalah bagian dari jaringan yang lebih luas, yang bahkan merambah ke sektor lain seperti Solar subsidi. Jaringan ini diyakini dilindungi oleh ‘orang besar’ yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, membuat proses penegakan hukum menjadi sulit.
Masyarakat berharap agar kasus ini tidak berhenti pada level operator SPBU atau pemilik motor “thunder” semata. Aparat penegak hukum perlu mengusut tuntas jaringan yang terlibat, termasuk pihak yang berada di balik layar. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam mengembalikan kepercayaan publik terhadap distribusi BBM di Indonesia.
Keberadaan mafia BBM, baik di sektor SPBU juga pada skala besar harus dihentikan. Siapa pun yang terlibat, tanpa memandang jabatan dan pengaruhnya, harus dimintai pertanggungjawaban. Jika dibiarkan, praktik seperti ini tidak hanya merugikan rakyat kecil, tetapi juga menggerogoti ekonomi dan keadilan dalam distribusi energi di Indonesia. (red)