Maros – reaksipress.com – Sekretaris Jenderal Pemerhati Hukum dan Lingkungan Hidup Indonesia (PHLHI), Hamzah, SE, angkat bicara terkait insiden tragis yang menewaskan dua pengendara motor perempuan di Dusun Kasi Kasi, Desa Toddopuli, Kecamatan Tanralili, Maros, akibat ditabrak truk pengangkut tanah.
Menurut Hamzah, kasus ini bukan sekadar kecelakaan lalu lintas, melainkan indikasi kelalaian sistemik dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam melakukan pengawasan terhadap aktivitas truk bermuatan berat di jalur pemukiman warga.
“Jangan anggap ini sebagai insiden biasa. Ini adalah bukti nyata dari pembiaran terhadap pelanggaran lalu lintas dan tata ruang yang sudah berlangsung lama. Negara tidak boleh lalai dalam menjamin keselamatan warganya di ruang publik,” tegas Hamzah kepada Reaksi Press, Kamis (4/9/2025).
Hamzah menyoroti dua aspek hukum yang menurutnya layak dikaji dan diproses lebih lanjut, yang pertama pelanggaran Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor hingga mengakibatkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.
Pelanggaran kedua, kelalaian dalam pengawasan distribusi material tambang (tanah uruk) yang diduga melanggar prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf a, yang melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta membahayakan manusia.
“Jika truk tanah itu berasal dari aktivitas galian yang tidak berizin atau melintasi jalur yang tidak sesuai peruntukannya, maka bisa ada unsur pidana lingkungan hidup di dalamnya. Ini harus diusut tuntas, bukan hanya berhenti pada sopir,” tegas Hamzah.
Lebih lanjut, Hamzah mendesak pemerintah daerah Kabupaten Maros untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan bahkan moratorium sementara aktivitas truk tanah atau tambang yang melintas di jalan desa, sampai ada regulasi dan pengawasan yang ketat.
“Jangan sampai kepentingan proyek lebih diprioritaskan daripada nyawa warga. Jika memang harus ada jalur truk berat, maka sediakan infrastruktur yang layak dan sesuai kelas jalan. Jalan desa bukan jalur industri,” ujarnya.
Hamzah juga menyinggung tanggung jawab kolektif, termasuk penerbit izin tambang, pemilik proyek, dan aparat penegak hukum yang membiarkan aktivitas truk melanggar rambu dan over kapasitas.
“Kalau aparat hanya reaktif setelah ada korban jiwa, maka kita sedang bermain-main dengan nyawa manusia. Ini saatnya semua pihak duduk bersama mengevaluasi kebijakan tata ruang dan distribusi tambang di Maros,” tutupnya.